Yogyakarta, ekispedia.id – Kasus impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, baru saja mencapai babak akhir. Putusan pengadilan yang memvonisnya 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta menjadi perbincangan hangat nasional. Peristiwa ini menarik untuk dikaji, bukan saja dari sisi hukum, namun juga dari perspektif ketahanan pangan, tata kelola impor, dan kerakusan sistemik dalam pengambilan kebijakan di Indonesia.
Majelis Hakim menyatakan Tom Lembong terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penerbitan izin impor gula. Ia dinilai memfasilitasi delapan perusahaan swasta untuk menerima izin impor gula kristal mentah (GKM), padahal izin tersebut bertentangan dengan regulasi yang berlaku yakni Permendag Nomor 117/2015. Aturan tersebut menetapkan bahwa impor gula kristal putih (GKP) hanya boleh dilakukan oleh BUMN, bukan swasta. Prosesnya pun harus didasari hasil rapat koordinasi lintas kementerian, yang faktanya tidak dilakukan.
Hakim menegaskan bahwa Tom sebagai pengambil keputusan sangat memahami bahwa izin yang ia keluarkan melanggar aturan. Namun, ia tetap mengeluarkan penugasan kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) yang kemudian bekerja sama dengan delapan perusahaan swasta untuk mengimpor GKM guna diolah menjadi GKP. Kebijakan ini disebut tidak cermat, tidak sesuai mekanisme, dan berpotensi menimbulkan kerugian negara yang menurut perhitungan majelis hakim mencapai Rp194 miliar.
Di balik vonis ini, fakta penting mengemuka, bahwasannya kebijakan impor gula di masa Tom Lembong bertugas dilatarbelakangi kondisi riil industri gula nasional. Ketergantungan Indonesia terhadap impor gula bukanlah masalah baru, melainkan persoalan struktural yang sudah terjadi bertahun-tahun karena rendahnya produktivitas gula dalam negeri dan tingginya kebutuhan industri serta konsumsi rumah tangga. Dengan keterbatasan suplai lokal, pemerintah menghadapi dilema antara menjaga stabilitas harga dan memastikan stok tetap aman bagi masyarakat serta pelaku industri.
Langkah Tom Lembong, dalam konteks ini, dapat dipandang sebagai upaya pragmatis untuk menjawab kebutuhan pasar. Meskipun prosedur administratif disorot dan akhirnya dinilai bermasalah secara hukum, praktik keterlibatan swasta, baik langsung maupun tidak langsung sudah menjadi pola yang lazim demi melancarkan distribusi dan menekan risiko kelangkaan.
Dari sisi pembelaan, Tim kuasa hukum Tom Lembong menegaskan tidak ada keuntungan pribadi yang diterima kliennya. Hakim memang tidak mewajibkan Tom membayar uang pengganti, karena tidak terbukti menikmati hasil korupsi tersebut. Pengacara juga mengutip audit BPK yang menyatakan tidak ada kerugian negara, serta menyoroti celah aturan yang multitafsir dalam Permendag itu sendiri
Dukungan terhadap kebijakan Tom Lembong juga didasarkan pada niat untuk mengatasi gejolak harga dan kekurangan pasokan. Bahkan, praktik serupa dilakukan oleh pejabat-pejabat berikutnya dengan skala impor yang lebih besar. Kondisi ini menunjukkan sistem regulasi masih lemah dan multitafsir, sehingga pejabat dihadapkan pada keputusan sulit di tengah tekanan permintaan pasar dan tumpang tindih aturan pemerintah.
Dari sudut pandang argumen pro, kasus ini sejatinya memperjelas kebutuhan evaluasi ulang sistem impor nasional—bukan sekadar menghukum pelaku. Penegakan hukum memang wajib, tetapi perbaikan tata kelola lebih urgen agar birokrat tidak terjebak dalam ketidakpastian kebijakan dan potensi kriminalisasi yang tidak proporsional. Jika tidak, setiap pengambilan kebijakan strategis yang berorientasi pada logika kebutuhan publik bisa terus terancam oleh kepentingan politik dan interpretasi regulasi yang terbatas.
Vonis untuk Tom Lembong telah mendobrak kesadaran semua pemangku kepentingan, bahwa tata kelola impor pangan, terutama gula, butuh reformasi menyeluruh: regulasi harus jelas, transparansi harus ditegakkan, dan ruang improvisasi demi kepentingan rakyat butuh perlindungan yuridis. Inilah momentum mendorong perubahan agar kebijakan tidak lagi jadi ranjau bagi para pengambil keputusan, melainkan alat menyejahterakan masyarakat.