Yogyakarta, ekispedia.id – Indonesia kembali berada di persimpangan sejarah. Gemuruh tuntutan rakyat mulai dari elemen mahasiswa hingga kelompok pekerja ojek adalah buntut dari tidak disambutnya aspirasi secara demokratis. Rakyat merasa lelah karena setiap suara dibalas dengan narasi kesombongan, otoriter hingga pendekatan militer.
Demokrasi yang dulu menjadi kebanggaan Indonesia pasca reformasi kini hanya tinggal cangkang tanpa ada esensi. Demokrasi telah layu di bawah ambisi elit politik pemerintah pusat hingga ke daerah.
Demokrasi kita seakan sudah lewat masa keemasannya, dan kini melayu seperti daun di musim gugur. Memang ironi dimana demokrasi Indonesia kehilangan vitalitasnya ketika Indonesia sedang mengalami bonus demografi. Ia tidak mati secara tiba-tiba, tetapi layu secara perlahan oleh kebusukan manuver elit-elit politik.
Rakyat sudah muak dengan berbagai tingkah laku nirempati pemerintah baik eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif.
Pemicu utama gelombang protes kali ini adalah penambahan tunjangan DPR yang fantastis yaitu senilai Rp 50 juta/bulan. Satu orang anggota DPR bisa mendapatkan gaji Rp 100 juta/perbulan atau Rp 3 juta/hari.
Sehari gaji mereka senilai hasil kerja sebulan rakyatnya kebanyakan. Kenaikan gaji ditengah semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan dan meningkatnya angka pengangguran ibarat garam yang ditabur di atas luka penderitaan rakyat. Rakyat juga semakin resah karena dimana-mana pajak gencar ditingkatkan. Beberapa daerah meningkatkan pajak hingga lebih dari 200 persen sehingga memantik protes termasuk kabupaten Pati.
Rakyat berteriak dihimpit berbagai tekanan ekonomi. Berbagai jargon mulai #indonesiagelap dan #kaburajadulu menjadi trending topik namun pemerintah bergeming bahkan seolah mengejek dan menantang rakyat. Rakyat dianggap tidak tahu apa-apa tentang bagaimana cara Indonesia bisa maju.
Protes rakyat hanya suara sumbang yang kontra produktif. Pers yang meliput mirisnya kondisi ini ikut dilanggar kebebasannya. Indonesia yang pernah dilabeli “demokrasi elektoral”, kini menjelma menjadi “otokrasi elektoral”.
Kebebasan pers melorot ke urutan 127 dari 180 negara. Tulisan kritik sering berakhir pada bully atau ancaman seperti yang dialami Tempo dengan kasus kepala babi. Lagu-lagu kritik juga menjadi sasaran intimidasi sehingga rakyat semakin gelisah.
Pemerintah semakin terlihat nyata melakukan proses militerisasi pos-pos sipil dengan melakukan amandemen UU TNI. Militer kini boleh menempati banyak bidang mulai dari jaksa agung hingga kementerian. Rakyat tentu teringat dengan sejarah pahit Dwifungsi ABRI era Orde Baru. Banyak pihak mempertanyakan apa kegentingan kondisi sehingga UU tersebut diamandemen. Lebih-lebih prosesnya yang sangat kilat dan tertutup di hotel mewah, simbol transparansi demokrasi yang dibungkam.
Data dari lembaga Freedom House menurunkan kategori Indonesia menjadi “partly free”, bukan lagi “free” seperti yang pernah disematkan kepada Indonesia saat awal era reformasi. Indeks Demokrasi Indonesia yang dirilis BPS juga menunjukkan tren menurun utamanya pada aspek kebebasan sipil. Semua indikator menunjukkan ruang kebebasan rakyat semakin menyempit.
Bahkan ekspresi kebebasan seperti bendera bajak laut dari anime “One Piece” dianggap makar dan dilabeli penghinaan lambang negara. Mereka yang berekspresi disamakan dengan separatis. Jika kita kritis, fenomena ini bukan hanya tentang simbol, tapi demokrasi negara kita sedang diminimalkan.
Demokrasi Indonesia sedang meredup, dikikis sedikit demi sedikit oleh oknum melalui kekerasan, dominasi militer, supremasi pemerintah, dan pendiskreditan narasi kritis. Namun kita harus yakin, masih ada jalan untuk menegakkan demokrasi di negara ini. Melalui protes terbuka walaupun dibalas dengan kekerasan kita harus yakin bahwa demokrasi belum mati. Ia hanya sekarat.
Padahal jika saja pemerintah mau dan peduli pada suara rakyat sekecil apapun itu, seorang Affan Kurniawan tidak perlu meregang nyawa karena ditabrak oleh kendaraan Brimob yang jelas-jelas melanggar batas. Tewasnya Affan memantik sumbu perlawanan yang sebelumnya hanya bersifat protes kini menjadi perlawanan. Kerusuhan di Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga Makassar dimana gedung pemerintah dibakar. Kondisi ini adalah alarm merah bagi Indonesia. Sinyal bahaya bagi demokrasi kita.
Untuk menyelamatkannya pemerintah harus memilih jalan terbaik dengan merangkul transparansi, mengembalikan supremasi sipil dan juga membuka kebebasan berekspresi. Bukan merepresi ruang publik dan menutup telinga agar nyaman bagi kekuasaan. Karena kalau tidak, perlawanan rakyat ini akan segera berubah menjadi patahan sejarah.
Pemerintah harus sadar bahwa di Indonesia kedaulatan adalah milik rakyat. Kekuasaan yang dimiliki bukan absolut namun hanya delegasi agar digunakan untuk kemakmuran bangsa. Kekuasaan bukan untuk bagi-bagi kue ke lingkungan terdekat agar bisa sejahtera sementara rakyatnya harus menanggung biayanya. Tidak perlu jenius, hanya dibutuhkan ketulusan hati agar pemerintah bisa memahami rakyatnya.
Tinggalkan komentar