Surakarta, ekispedia.id – Ekonomi Indonesia tahun ini lumayan membuat kita sedikit lega. Badan Pusat Statistik melaporkan pertumbuhan PDB kuartal II-2025 mencapai 5,12% dibanding tahun lalu. Di tengah gejolak global, angka ini jelas kabar baik. Tapi pertumbuhan ekonomi bukan hanya soal angka di grafik. Pertanyaan besarnya adalah: apakah pertumbuhan itu benar-benar terasa di lapangan? Jawaban untuk itu bergantung pada dua mesin utama perekonomian: sektor riil dan sektor non-riil.
Sektor Riil: Jantung Produksi dan Lapangan Kerja
Sektor riil bisa dibilang jantung ekonomi Indonesia. Di sinilah barang dan jasa nyata diproduksi: petani menanam padi, nelayan melaut, pabrik mengolah bahan mentah, dan pedagang memasarkan produk. Tahun ini, pertanian, kehutanan, dan perikanan bahkan tumbuh lebih dari 13 persen, sementara industri pengolahan menyumbang hampir 19 persen terhadap PDB. Artinya, aktivitas produksi masih solid dan jadi tulang punggung pertumbuhan.
Namun, kondisi di lapangan tidak selalu seindah laporan statistik. Pelaku usaha sering mengeluh tentang birokrasi yang ribet, aturan yang berubah-ubah, dan biaya logistik yang tinggi. Pemerintah mencoba merespons lewat reformasi perizinan usaha yang akan berlaku Oktober 2025. Jika reformasi ini berjalan lancar, sektor riil bisa lebih leluasa bergerak dan menarik lebih banyak investasi.
Sektor Non-Riil: Darah yang Mengalirkan Modal
Kalau sektor riil adalah jantung, sektor non-riil adalah pembuluh darahnya. Perbankan, pasar modal, dan asuransi tidak menghasilkan barang, tetapi memastikan aliran dana tetap lancar. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan berencana menarik sekitar Rp 200 triliun dana pemerintah yang mengendap di Bank Indonesia untuk disalurkan melalui bank-bank komersial. Harapannya sederhana: agar uang itu tidak hanya diam, tetapi diputar untuk kredit usaha dan investasi.
Data perbankan menunjukkan dana pihak ketiga tumbuh 5,75 persen, sedangkan kredit investasi naik 14,62 persen. Meski begitu, rasio aset keuangan Indonesia terhadap PDB masih kalah dibanding beberapa negara tetangga. Ini tanda bahwa pasar keuangan kita belum cukup dalam dan perlu dorongan agar lebih bermanfaat bagi sektor riil.
Ambisi Pertumbuhan: Optimisme vs Realitas
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4 persen dalam RAPBN 2026 dan optimis delapan persen bukan mustahil dalam dua sampai tiga tahun. Optimisme ini tentu menyenangkan, tapi realitas di lapangan tidak boleh diabaikan. Beberapa indikator seperti survei aktivitas manufaktur dan penjualan ritel menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Tanpa penguatan fundamental—mulai dari konsumsi rumah tangga, ekspor yang kompetitif, hingga investasi swasta yang lancar—pertumbuhan tinggi bisa jadi hanya angka cantik di atas kertas.
Langkah Pemerintah: Dari Reformasi ke Eksekusi
Untuk mencapai target itu, pemerintah sudah menyiapkan berbagai langkah. Penarikan dana dari BI untuk memperkuat kredit usaha adalah salah satunya. Fokus APBN diarahkan ke infrastruktur, UMKM, dan program padat karya agar manfaatnya terasa luas. Reformasi perizinan diharapkan memotong birokrasi dan memberikan kepastian hukum bagi investor. Namun, kebijakan sebaik apa pun tidak akan berarti jika eksekusinya setengah hati. Koordinasi lintas lembaga dan pengawasan yang konsisten menjadi kunci agar kebijakan tidak berhenti di atas kertas.
Pertumbuhan yang Benar-Benar Terasa
Angka pertumbuhan PDB bisa jadi membanggakan, tetapi yang terpenting adalah dampaknya di kantong rakyat. Petani, buruh pabrik, pedagang kecil, dan pengusaha UMKM perlu merasakan manfaat pertumbuhan, bukan hanya membaca angka di berita. Sektor non-riil harus lebih produktif dan mendukung sektor riil, bukan hanya mencari keuntungan finansial cepat. Jika keduanya bisa berjalan beriringan, mimpi delapan persen pertumbuhan bukan sekadar wacana. Sebaliknya, jika sinergi gagal tercapai, kita hanya akan punya pertumbuhan yang terlihat mengesankan tetapi terasa asing bagi masyarakat.
Tinggalkan komentar