Menguji Peran Muhammadiyah dalam Lanskap Ekonomi Islam

Aditya Budi Santoso

Aditya Budi Santoso

0 Comment

Link

Jakarta, ekispedia.id – Hamka, dalam artikel di “Kitab Peringatan 40 Tahun Muhammadiyah”, menguraikan setidaknya ada tiga kekhawatiran sang pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan terhadap kondisi masyarakat saat itu. Pertama keterbelakangan muslim karena meninggalkan Quran dan sunah; kedua kemiskinan umat Islam; dan ketiga aktivitas terbelakang pendidikan umat Islam. Maka, pada tahun 1912 semai organisasi Muhammadiyah berdiri dengan semangat pembaruan. Bukan hanya soal pembaruan praktik keagamaan, tetapi juga niatan pembaruan kondisi sosio-ekonomi masyarakat yang menggungah Kyai Dahlan mengambil langkah amaliah nyata.

Beliau mengajarkan para muridnya tafsir sederhana dan membumi surat al-Ma’un yakni membantu kaum miskin dan lemah. Menyeru orang-orang, atas nama agama dan kemanusiaan untuk gotong royong bergerak bersama (fastabiqul khairat) menghantam kabut tebal kesengsaraan masyarakat. Kuntowijoyo menyebut bahwa spritualitas dalam makna amal ibadah harus selaras dengan isu sosial, artinya mampu menjawab persoalan di masyarakat.

Muhammadiyah berdiri di tengah suasana bangsa yang masih diliputi awan hitam kolonialisme. Spirit al-Mau’un kemudian diintepretasikan secara pokok menjadi tiga bidang amaliah yakni layanan santunan (sosial), pendidikan, dan kesehatan. Fundamental dari ketiga bidang tersebut tentu saja tidak bisa dilepaskan dari keprihatinan atas merebaknya kemiskinan. Apa yang dilakukan Kyai Dahlan, dalam bahasa Haidar Nashir adalah untuk mewujudkan al-Mau’n sebagai sebuah sikap hidup (an attitude of life). Keberpihakan pada kaum miskin (proletar) lahir dari pemahaman mendasar akan teks dalam Quran. Kyai Dahlan hendak menyiratkan bahwa iman adalah tanggung jawab sosial. Karakter keislaman harus termanifestasi dalam praktik nyata sesuai kebutuhan zamannya.

Siapa sangka kajian surat al-Ma’un yang rutin digelar seba’da subuh itu kini menyemai manfaat, seperti bola salju yang semakin membesar dan berdampak luas bagi masyarakat. Pada tahun 2023 tercatat lebih dari 5.300 sekolah dari berbagai jenjang telah didirikan oleh Muhammadiyah. Selain itu kurang lebih 173 universitas dan 123 rumah sakit telah berdiri untuk memberikan layanan kepada masyarakat (muhammadiyah.or.id). Bahkan terbaru Muhammadiyah telah mendirikan universitas di Australia dan Malaysia. Sepanjang berdirinya, Muhammadiyah telah melakukan transformasi dakwah melalui pendekatan modernitas dan menekankan kemandirian organisasi melalui amal usaha.

Institusi Sosial-Ekonomi Berbasis Islam

Ekonomi Islam dalam kacamata pemikir Barat adalah ekonomi moral. Prinsip moral yang dimaksud tentu saja adalah moralitas yang berasal dari nilai-nilai keislaman. Pada lanskap tersebut, Muhammadiyah menyumbang peranan bagi kebangkitan kondisi sosio-ekonomi masyarakat. Dalam hal keuangan sosial Islam, Muhammadiyah mendirikan lembaga penyalur zakat cukup maju pada zamannya. Amelia Fauzia, dalam kutipan disertasinya, menyebut bahwa Muhammadiyah menjadi organisasi pengelola filantropi Islam paling modern pada masa kolonialisme. Serikat Islam dan Muhammadiyah kala itu menjadi pelopor pelaporan kegiatan dan keuangan organisasi di media cetak.

Pada aspek literatur ekonomi Islam, Muhammadiyah memiliki cendikiawan Azhar Basyir yang menulis sejumlah karya, salah satunya “Garis Besar Sistem Ekonomi Islam” yang terbit tahun 70-an. Selain itu terdapat Dawam Raharjo yang memiliki karya “Deklarasi Mekah: Esai-esai Ekonomi Islam” dan Musa Asy’arie yang dikenal sebagai guru besar filsafat, yang juga menulis buku “Filsafat Ekonomi Islam.” Secara substansial peran Muhammadiyah bukan pada formulasi teori, melainkan pada aspek impelementasi.

Pada ranah yang lebih praksis, sejumlah pilar institusi penting penopang dalam masyarakat dibangun. Lembaga pendidikan meliputi berbagai jenjang menyebar di seluruh Indonesia. Institusi pendidikan milik Muhammadiyah tidak bisa hanya dilihat sebagai penyediaan sarana belajar semata. Lebih jauh, apa yang dilakukan Muhammadiyah dapat dibaca sebagai perbaikan kualitas sumber daya manusia dan ekosistem pendidikan yang lebih baik. Rumah sakit juga menyebar di berbagai provinsi. Berbagai layanan tersebut beroperasi non-diskriminasi (tanpa membedakan latar belakang agama), semua dilayani secara profesional dengan berlandaskan prinsip Islam. Pembangunan sekolah, sarana kesehatan dan sosial adalah wujud kemampuan Muhammadiyah dalam menerjemahkan nilai Islam ke dalam institusi sosial-ekonomi.

Institusi tersebut – khususnya pendidikan – mampu menjadi triger sekaligus katalisator perbaikan ekonomi baik bagi individu maupun masyarakat. Melekatnya nama Muhammdiyah dalam setiap amal usaha, bisa dikatakan garansi kehalalan dan kesesuaian dengan prinsip syariah. Pada tahun 2025 Seasia Stats merilis data organisasi keagamaan terkaya di dunia dan menempatkan Muhammadiyah di posisi ke-4 (Antara News). Data tersebut juga menunjukan bahwa Muhammadiyah sebagai satu-satunya organisasi Islam terkaya di dunia. Kekayaan yang dimiliki Muhammadiyah bisa dipastikan tidak untuk membuat kaya anggota, pengurus atau individu tertentu, melainkan akan kembali kepada kesejahteraan umat.

Pemikir ekonomi Islam Umer Chapra menyebut bahwa Ekonomi Islam bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat. Maka apa yang dilakukan Muhammadiyah sangat sejalan dengan konsepsi dasar ekonomi Islam yakni mewujudkan kemaslahatan. Masih kata Chapra, dalam “Islam dan Tantangan Ekonomi”, bahwa perubahan radikal pada struktur ekonomi dan institusi mustahil dilakukan tanpa adanya komitmen nilai-nilai moral (Islam). Sehingga sangat naif jika perubahan itu akan terjadi dengan mengandalkan pada institusi/organisasi yang tidak mengenal bahkan jauh dari nilai Islam.

Adanya Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Muhammadiyah dengan visi pada bidang ekonomi yakni mewujudkan kemaslahatan berbasis syariah, semakin menegaskan peran Muhammadiyah.Oleh karenanya Muhammadiyah dengan kekayaan asetnya menjadi modal penting dan langkah awal dalam penguatan ekosistem ekonomi Islam. Eksistensinya seakan mewakili profesionalisme Islam dalam kancah global. Ibarat aliran sungai, Muhammadiyah mencoba menjernihkan pada sisi hulu dengan melahirkan agen-agen penggerak kebangkitan ekonomi bernafaskan Islam.

Nejatullah Siddiqi mengungkapkan perbedaan utama perekonomian Islam dari sistem ekonomi lainnya adalah bahwa kemakmuran dan kesejahteraan dalam Islam menjadi sarana mencapai tujuan spiritual (keimanan). Sehingga rasanya agak mustahil menemukan amal usaha Muhammadiyah yang di dalamnya kosong dengan ajakan ketataan pada Allah. Kondisi demikian nampak kontradiktif dengan sistem ekonomi konvensional, dengan segala derivasi institusinya, yang tidak memperdulikan nilai spiritual. Siapapun, atas nama kompetisi dan kebebasan pasar, boleh mengambil keuntungan sebesar-besarnya sekalipun harus merugikan orang lain. Meskipun pada dunia perbankan saat ini Muhammadiyah masih dalam tahap pengembangan bank syariah, namun potensi dan peranannya pada aspek lain sebagai organisasi Islam terkaya di dunia ini tidak bisa dianggap biasa.

Orkestrasi gerakan Muhammadiyah dari moral ke institusi, dari akar ke menara tinggi nampak semakin merdu. Meminjam konsepsi Max Weber bahwa etika iman harus melahirkan rasionalitas sosial. Maka Muhammadiyah menjawab tantangan itu, bukan hanya mengurai Islam dalam ruang pesantren namun juga bergerak cepat membangun akar-akar peradaban. Tidak mencukupkan dan asik mengkaji al-Ma’un di atas kertas an sich, tetapi juga mendorong seruan ayat-ayat Qur’an membumi praksis. Institusi profesional dan modern dibangun dengan akar spiritualitas yang kuat. Sehingga dampak iman seseorang akan terasa nyata bukan hanya bagi dirinya namun juga bagi lingkungannya. Seperti kata Kyai Dahlan “Sedikit bicara, banyak kerja.”

Share:

Related Post

Tinggalkan komentar