Yogyakarta, ekispedia.id – Saat ini, banyak saudara kita di Indonesia yang masih menganggur dan kesulitan mencari pekerjaan. Khususnya generasi muda yang baru lulus sekolah atau kuliah. Mereka sering merasa hopeless atau putus asa karena sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Meskipun presentase kemiskinan terkadang terlihat menurun, kenyataannya jumlah orang yang belum bekerja malah bertambah. Hal ini menjadi tanda bahwa masalah pekerjaan masih belum terselesaikan dan harus segera dicari solusi yang tepat.
Pengangguran menjadi salah satu masalah sosial yang cukup pelik dan menjadi tantangan krusial bagi negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim. Indonesia merupakan salah satu negara dengan mayoritas muslim terbanyak dan saat ini tengah menghadapi tantangan serius dalam mengatasi krisis pengangguran, terutama dikalangan usia muda dibawah 24 tahun. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), usia tersebut mendominasi jumlah pengangguran di Indonesia dengan total 7,28 juta jiwa per Februari 2025. BPS mencatat, walaupun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2025 tercatat 4,76% lebih rendah dibandingkan Februari 2024 sebesar 4,82%, namun angka pengangguran tetap mengalami peningkatan dari periode sebelumnya.
Tingginya tingkat pengangguran ini menyebabkan adanya kesenjangan antara kebutuhan lapangan kerja dengan ketersediaan pekerjaan yang layak. Tak jauh berbeda dengan kajian yang dilansir oleh AlgoResearch. Riset tersebut menyingkap bahwa ketersediaan pekerjaan yang layak tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. Masih banyak ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki dengan kebutuhan industri yang dilamar. Disisi lain, jumlah lapangan pekerjaan yang ada tak mampu mengimbangi jumlah kaum muda, termasuk kalangan generasi terdidik.
Selain itu, hal ini disebabkan oleh dunia kerja yang semakin kompetitif di tengah lapangan kerja yang semakin terbatas dalam arti tidak bertambah atau bahkan berkurang. Kondisi ini menunjukkan perlu adanya solusi ekonomi yang tak hanya berfokus pada pertumbuhan kuantitatif saja, namun juga pada pemerataan kesejahteraan dan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan serta berlandaskan keadilan.
Krisis pengangguran bukan hanya soal statistik, tapi soal banyak orang, teman, keluarga bahkan diri kita sendiri yang tengah mencari pekerjaan dan kepercayaan diri. Tak lupa bahwa negara kita adalah negara muslim, dimana seharusnya dalam perekonomian berlandaskan pada ekonomi islam. Di saat seperti ini, ekonomi islam harus ikut andil dan menawarkan pendekatan yang lebih manusiawi serta penuh harapan, bukan hanya sekedar mencari keuntungan semata.
Salah satu hal yang harus tetap ada pada ekonomi islam adalah prinsip keadilan dan saling membantu. Misalnya, konsep pembiayaan tanpa riba (bunga) membuka pintu bagi banyak orang yang selama ini kesulitan mendapatkan modal di perbankan konvensional. Contoh nyata Pada tahun 2022, Bank Syariah Indonesia (BSI) telah memberikan pembiayaan besar kepada bisnis mikro di Lampung sekitar Rp506,58 miliar hingga Januari 2023, dan saat ini mengalami peningkatan tahunan (yoy) sebesar 112,2%. Pembiayaan tersebut merupakan komponen dari total pembiayaan UMKM yang disalurkan BSI sebesar Rp 37,64 triliun di tahun 2022, dengan pembiayaan khusus ke segmen usaha mikro yang mengalami peningkatan 132,7% menjadi Rp 18,74 triliun secara nasional. Ini bukan hanya soal angka dan uang! tapi soal memberdayakan mereka yang selama ini terpinggirkan agar bisa mulai usaha, menciptakan pekerjaan dan membangun masa depan. Jadi, ekonomi islam tak hanya bicara soal ”uang”, tapi soal “kebersamaan”.
Adapun dua instrumen sosial islam yang bisa dikembangkan lebih inovatif lagi adalah zakat dan wakaf. Berdasarkan data BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), potensi zakat di Indonesia pada tahun 2025 mencapai Rp327 triliun, dengan realisasi penerimaan baru sekitar Rp41 triliun. Walaupun terhitung besar, namun pemanfaatan zakat untuk kegiatan produktif masih belum maksimal. Bayangkan kalau dana zakat diolah lewat teknologi digital seperti aplikasi zakat yang transparan dan mudah diakses. Maka dana tersebut bisa langsung dialokasikan untuk pelatihan kerja, modal usaha bagi pemula, hingga pendidikan vokasi yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja saat ini. Ini benar-benar bisa menjadi salah satu cara efektif untuk mengurangi pengangguran sekaligus membuka lapangan kerja baru.
Selain itu, dunia startup dan ekonomi digital kini menjadi ladang subur untuk kreativitas dan inovasi. Ekonomi islam berkesempatan memiliki potensi besar disini. Terutama dengan konsep bisnis yang mengedepankan etika, kejujuran, dan keberlanjutan. Fintech Syraiah misalnya, bisa menjadi jembatan bagi anak muda untuk mengakses modal sambil tetap menjaga prinsip-prinsip syariah. Kalau dikembangkan dengan baik, ini bisa menjadi mesin pencipta lapangan kerja baru yang tak kalah besar dibanding sektor tradisional.
Tetapi hal yang paling penting adalah bagaimana kita bisa menggabungkan teknologi dan nilai-nilai islam agar ekonomi bisa berjalan dengan lebih inklusif dan adil. Misalnya, blokchain bisa dipakai untuk transparansi ditribusi zakat atau platform digital bisa dikembangkan untuk menghubungkan para pembiaya dan pelaku usaha mikro yang selama ini sulit terjangkau.
Jadi bukan hanya soal membangun lapangan kerja secara fisik, tetapi juga membangun kepercayaan dan motivasi masyarakat agar berani berusaha. Ekonomi islam bisa menjadi solusi yang tidak hanya teknis, tetapi juga emosional dan spiritual, yang pada akhirnya mampu membawa perubahan positif nyata ditengah krisis pengangguran.