Yogyakarta, ekispedia.id – Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya alam, termasuk minyak bumi. Minyak bumi merupakan komoditas penting yang seharusnya dikelola untuk kepentingan rakyat dan pembangunan nasional. Sayangnya, pengelolaan minyak di Indonesia masih jauh dari harapan. Korupsi, monopoli, dan kekuasaan segelintir elit menjadi masalah besar yang merugikan negara dan masyarakat.
Salah satu nama yang belakangan kembali mencuat adalah Mohammad Riza Chalid, yang dikenal luas sebagai “raja minyak mentah”. Ia baru saja ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengelolaan minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero), Subholding, dan para kontraktor migas (KKKS) untuk periode 2018–2023. Tak hanya Riza, anaknya Muhammad Kerry Adrianto Riza juga lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka pada Februari 2025 dalam kasus yang sama.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menyebut Riza ditetapkan sebagai tersangka bersama delapan orang lainnya. Negara disebut mengalami kerugian fantastis sebesar Rp285 triliun akibat praktik korupsi ini—jumlah yang mengguncang kepercayaan publik.
Dari Skandal Freeport hingga Mafia Migas
Ini bukan kali pertama nama Riza Chalid mencuat. Pada tahun 2015, ia disebut dalam skandal besar “Papa Minta Saham” bersama Ketua DPR saat itu, Setya Novanto, dalam percakapan dengan pihak PT Freeport Indonesia. Meski tak diproses hukum saat itu, publik sudah menaruh curiga terhadap kekuasaan mafia migas yang bekerja di balik layar.
Meski Riza bukan pejabat negara atau direktur BUMN, pengaruhnya sangat besar. Ia dikenal memiliki akses khusus ke jalur ekspor-impor minyak serta dekat dengan para pengambil kebijakan di pemerintahan.
Dalam kasus terbaru, Riza diduga terlibat dalam pengaturan kontrak penyewaan terminal BBM Tangki Merak dengan harga tidak wajar. Padahal, Pertamina saat itu belum membutuhkan kapasitas penyimpanan tambahan. Akibatnya, negara mengalami kerugian besar hanya demi keuntungan kelompok tertentu.
Dampaknya Bukan Cuma Finansial
Korupsi di sektor energi punya dampak luas, bukan cuma soal uang negara yang hilang. Ketika dana negara terkuras untuk kepentingan segelintir orang, dampaknya terasa langsung oleh rakyat kecil:
- Harga BBM bisa naik
- Subsidi untuk pendidikan dan kesehatan berkurang
- Infrastruktur energi jadi terbengkalai
- Ketimpangan ekonomi makin parah
Sumber daya alam seharusnya dikelola untuk semua, bukan untuk memperkaya mafia. Dalam ekonomi Islam, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip maslahah (kemaslahatan umum). Rasulullah SAW bersabda bahwa manusia memiliki hak bersama atas air, rumput, dan api (energi). Artinya, energi adalah milik bersama, bukan milik pribadi atau kelompok tertentu.
Solusi dari Perspektif Ekonomi Islam
Islam menawarkan solusi konkret untuk mencegah kerusakan seperti yang terjadi dalam kasus mafia migas ini. Berikut beberapa prinsip utama:
- Transparansi dan Akuntabilitas
Negara wajib membuka informasi publik terkait kontrak migas dan distribusi minyak. Ini akan mencegah praktik gelap dan memperkuat pengawasan. - Pemisahan Kekuasaan dan Bisnis
Pejabat negara tidak boleh terlibat dalam bisnis yang terkait langsung dengan kebijakan publik untuk mencegah konflik kepentingan. - Audit Syariah dan Etika Bisnis
Pengawasan tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga etis sesuai nilai syariat: menjaga kemaslahatan dan mencegah kerusakan. - Pemanfaatan Keuntungan untuk Rakyat
Keuntungan dari sektor energi harus kembali ke masyarakat dalam bentuk pelayanan publik yang adil, bukan dikumpulkan oleh oligarki.
Saatnya Umat jadi Pengawas
Kasus Riza Chalid adalah cermin dari sistem pengelolaan energi yang telah lama rusak. Ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi juga soal pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Umat Islam tidak boleh hanya menjadi konsumen produk halal, tetapi juga harus menjadi penjaga moral, pengawas sosial, dan penuntut keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Jika prinsip ekonomi syariah dijalankan secara konsisten, Indonesia bisa membangun sistem ekonomi yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Karena kekayaan energi bukan milik pribadi, melainkan amanah bangsa yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.