Medan, ekispedia.id – Di tengah derasnya arus pasar bebas dan dominasi oligarki ekonomi, diskursus tentang Islamic Political Economy sering kali terjebak pada isu perbankan dan keuangan syariah semata. Padahal, sejak awal kemerdekaan Indonesia, telah lahir pemikir yang menawarkan kerangka ekonomi politik Islam yang lebih membumi dan berorientasi pada sektor riil. Salah satunya adalah Kahrudin Yunus, tokoh intelektual Muslim yang pemikirannya kini nyaris terlupakan.

Kahrudin Yunus memperkenalkan gagasan Sistem Ekonomi Kemakmuran Bersama, atau yang ia sebut sebagai Bersamaisme. Inti dari gagasan ini sederhana namun fundamental: ekonomi seharusnya dibangun “dari bersama, oleh bersama, dan untuk bersama”. Berbeda dengan kapitalisme yang memusatkan kekuasaan pada pemilik modal, dan komunisme yang menyerahkan kendali ekonomi sepenuhnya kepada negara, Bersamaisme menempatkan kerja produktif manusia sebagai fondasi utama sistem ekonomi.
Menurut Kahrudin Yunus, akar ketimpangan ekonomi bukan terletak pada kelangkaan sumber daya, melainkan pada mekanisme distribusi yang berbasis perdagangan bebas tanpa kendali. Kapitalisme, dalam pandangannya, telah menggeser fungsi uang dari alat tukar menjadi alat kekuasaan, sehingga keuntungan ekonomi hanya berputar di tangan segelintir elite. Sementara itu, komunisme justru mematikan insentif kerja dan melahirkan sentralisasi kekuasaan yang menindas.
Bersamaisme hadir sebagai jalan tengah. Ia menolak ekstrem liberalisme pasar maupun kontrol negara yang berlebihan. Dalam konteks Indonesia, gagasan ini sejatinya sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Namun, arah kebijakan ekonomi saat ini justru bergerak sebaliknya (mendorong deregulasi dan liberalisasi perdagangan yang semakin menyulitkan pelaku ekonomi kecil dan memperkuat dominasi oligarki).
Yang menarik, Kahrudin Yunus jauh-jauh hari telah mengingatkan pentingnya pembatasan perdagangan (restriksi) tertentu demi melindungi kepentingan rakyat dan menjaga kedaulatan ekonomi nasional. Gagasan ini relevan dengan realitas hari ini, ketika pasar sektor riil dikuasai segelintir kelompok besar, sementara negara semakin kehilangan daya tawar dalam mengatur ekonomi.
Membaca ulang pemikiran Kahrudin Yunus bukan sekadar romantisme sejarah intelektual. Ia menawarkan alternatif konkret bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan ketimpangan struktural. Bersamaisme menunjukkan bahwa ekonomi Islam bukan hanya soal halal-haram transaksi, melainkan tentang keadilan, kerja, dan keberpihakan pada kemakmuran bersama.
Di saat wacana ekonomi nasional membutuhkan arah baru, mungkin sudah waktunya Indonesia menengok kembali pemikiran yang lahir dari rahimnya sendiri (pemikiran yang berani mengambil jalan tengah, adil, dan berpihak pada rakyat).





Tinggalkan komentar