Yogyakarta, ekispedia.id – Ketika mendengar istilah ekonomi syariah, banyak orang langsung mengaitkannya dengan larangan riba. Seolah-olah, satu-satunya hal yang menjadi sorotan dari sistem ekonomi Islam hanyalah pelarangan bunga. Padahal, esensi ekonomi syariah jauh lebih luas dan dalam daripada sekadar mengatakan “riba itu haram”.
Memang benar, larangan riba adalah salah satu pilar penting dalam sistem ekonomi Islam. Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyatakan “perang” terhadap pelaku riba (QS. Al-Baqarah: 278–279). Riba dianggap sebagai biang kerok ketimpangan, eksploitasi, dan ketidakadilan dalam sistem keuangan. Namun, membatasi cakupan ekonomi syariah hanya pada poin ini adalah kesalahan besar.
Ekonomi Syariah: Sistem Komprehensif Bernuansa Moral
Ekonomi syariah bukan sekadar sistem keuangan, melainkan sistem hidup yang menjunjung tinggi nilai keadilan (‘adl), kebermanfaatan (maslahah), tolong-menolong (ta’awun), dan keseimbangan (tawazun). Nilai-nilai tersebut membentuk fondasi kuat bagi tatanan ekonomi yang sehat, adil, dan tidak menindas.
Sistem ini mencakup berbagai aspek: perbankan, bisnis, etika dagang, zakat dan wakaf, hingga kebijakan fiskal. Sebagai contoh, perbankan syariah tidak hanya menghindari bunga, tetapi juga menerapkan prinsip keterbukaan, keadilan dalam pembagian hasil, dan kesepakatan akad yang jelas.
Bukan Bunga, Tapi Bagi Hasil
Berbeda dengan sistem konvensional yang menetapkan bunga tetap meskipun usaha merugi, ekonomi syariah menggunakan sistem bagi hasil melalui akad seperti mudharabah dan musyarakah. Dalam skema ini, keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan risiko juga ditanggung bersama.
Prinsip ini menciptakan hubungan bisnis yang lebih sehat dan beretika. Risiko yang ditanggung bersama menciptakan keadilan dalam pembagian keuntungan. Ini bukan semata persoalan teknis, melainkan bagian dari filosofi bahwa setiap keuntungan harus lahir dari kontribusi nyata dan keberanian mengambil risiko.
Peduli Lingkungan, Menolak Eksploitasi
Ekonomi syariah juga tidak membenarkan transaksi yang mengandung unsur ketidakjelasan (gharar), judi (maysir), atau manipulasi harga. Selain itu, prinsip keberlanjutan dijunjung tinggi, termasuk dalam menjaga kelestarian alam. Setiap aktivitas ekonomi harus halal, bermanfaat, dan tidak merusak lingkungan maupun sosial.
Zakat dan Wakaf: Pilar Distribusi Kesejahteraan
Tak hanya fokus pada cara mendapatkan kekayaan, ekonomi syariah juga mengatur bagaimana kekayaan itu harus didistribusikan. Zakat menjadi alat wajib untuk mengurangi kesenjangan sosial, sementara wakaf menjadi kontribusi sukarela yang menopang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Dengan begitu, ekonomi syariah tidak hanya membangun sistem pencarian nafkah yang halal, tetapi juga mendorong keadilan sosial secara konkret.
Tantangan Pemahaman dan Praktik
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang menyalahpahami ekonomi syariah. Sekadar mengganti istilah “bunga” menjadi “margin” atau “fee” sering kali dianggap sudah cukup syar’i, padahal belum tentu sesuai prinsip. Bahkan, tak sedikit lembaga keuangan syariah yang masih meniru sistem konvensional, alih-alih menawarkan solusi inovatif berbasis nilai-nilai Islam.
Hal ini menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat: apa sebenarnya bedanya dengan bank konvensional?
Menuju Ekonomi yang Lebih Manusiawi
Sudah saatnya kita melihat ekonomi syariah sebagai sistem alternatif yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Bukan hanya sistem yang melarang, tapi sistem yang membebaskan: dari keserakahan, ketimpangan, dan penindasan.
Ekonomi syariah bukan hanya tentang keuangan, tapi juga tentang emosi, moralitas, dan spiritualitas manusia dalam berusaha dan bermuamalah.