Dr. H. Kahrudin Yunus (1915–1979): Intelektual Muslim dan Kritik atas Sejarah Populer

Rahmatullah R

0 Comment

Link

Medan, ekispedia.id – Dr. H. Kahrudin Yunus lahir pada 1915 dan dikenal sebagai seorang intelektual Muslim yang banyak menorehkan prestasi di bidang pendidikan dan pergerakan. Sejak masa mudanya, ia aktif di berbagai organisasi pelajar Islam, seperti PENI (Perkumpulan Pelajar Normal Islam) dan Permusyawaratan Islam (P.I.) di Sumatra.

Saat melanjutkan studi ke Mesir, ia terlibat dalam organisasi mahasiswa internasional, seperti Djam’iyatus Sjubbannil Muslimin, Djam’iyatul Ichwaanil Muslimin, dan Djam’iyatul Uchuwwatil Islamiyah. Kiprah tersebut menunjukkan semangat Kahrudin dalam memperjuangkan Islam sekaligus mendukung kemerdekaan Indonesia melalui jaringan intelektual lintas negara.

Ketika menempuh pendidikan di Amerika Serikat, ia aktif dalam Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dan International Students Association di New York. Selain berorganisasi, ia juga menggunakan pena untuk menyuarakan perjuangan. Tulisan-tulisannya muncul di berbagai media di Indonesia, Mesir, dan Amerika Serikat, mengangkat isu kemerdekaan serta posisi bangsa Indonesia di kancah dunia.

Salah satu karya monumental Kahrudin adalah disertasi doktoralnya di AS berjudul “Indonesia’s Independence, Developments and Sequel”, yang menjadikan isu kemerdekaan Indonesia sebagai bahan kajian akademik internasional.

Menolak tawaran bekerja di luar negeri, ia memilih pulang dan mengabdikan diri di dalam negeri dengan menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi di Sumatra.

Baca biografi ringkasnya pasa ulasan sebelumnya disini

Kritik terhadap Sejarah Populer: “Nabi Muhammad Tidak Pernah Jadi Saudagar”

Selain kiprahnya dalam pendidikan dan perjuangan politik, Dr. Kahrudin Yunus juga aktif menulis gagasan kritis tentang ekonomi Islam. Salah satu yang menarik perhatian adalah tulisannya dalam magnum opus-nya yang berjudul Sistem Ekonomi Kemakmuran Bersama, Jilid 1 (1955), di mana ia menanggapi isu populer: klaim bahwa Nabi Muhammad pernah menjadi seorang saudagar sebelum menerima wahyu.

Menurut Kahrudin, anggapan tersebut keliru bila dianalisis secara historis dan linguistik:

  • Secara bahasa, istilah saudagar dalam bahasa Arab kerap dikaitkan dengan kata taadjir, yang pada mulanya berarti orang yang menjual minuman keras. Dalam bahasa Indonesia, kata “saudagar” sendiri berasal dari “seribu daya”, yang mengandung konotasi penuh tipu muslihat. Dengan makna ini, menyebut Nabi Muhammad sebagai saudagar jelas tidak tepat.
  • Secara historis, kegiatan Nabi Muhammad saat berusia 25 tahun hanyalah mengelola barang dagangan milik Khadijah dalam perjalanan ke Syam. Aktivitas ini lebih tepat disebut pengangkutan barang, bukan perdagangan dalam pengertian modern. Menyebut Nabi sebagai “saudagar” berarti melakukan simplifikasi sejarah yang menyesatkan.

Kahrudin juga menekankan perbedaan mendasar antara praktik ekonomi pada masa Nabi dengan ilmu ekonomi modern yang baru berkembang abad ke-18 melalui Adam Smith. Meskipun masyarakat Arab kala itu mengenal konsep permintaan dan penawaran, strukturnya sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis modern.

Melalui kritiknya, Kahrudin ingin mengingatkan umat Islam bahwa salah tafsir sejarah dapat berakibat fatal bagi pemahaman generasi. Banyak Muslim tumbuh dengan keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang saudagar sukses sebelum menjadi rasul. Padahal, catatan sejarah menunjukkan aktivitas beliau lebih tepat dipahami sebagai pengelolaan ekspedisi dagang, bukan perdagangan pribadi berskala besar.

Dengan demikian, keagungan Nabi Muhammad justru terletak pada akhlak, integritas, dan kejujuran beliau dalam setiap tindakan, bukan pada label ekonomi yang disematkan tanpa dasar sejarah yang kuat.

Ia (red: Kahrudin Yunus) bukan hanya seorang intelektual pergerakan yang menorehkan kontribusi internasional, tetapi juga seorang pemikir kritis yang berani mengulas ulang narasi populer demi menjaga ketepatan sejarah Islam. Gagasan-gagasannya tetap relevan hingga kini, mengingatkan kita agar tidak sekadar menerima narasi turun-temurun, melainkan mengkajinya dengan jernih dan kritis.

Share:

Related Post

Tinggalkan komentar