Yogyakarta, Ekipedia.id – Di tengah arus transformasi digital yang menerpa berbagai bidang kehidupan, sektor keuangan juga terkena imbasnya. Namun secara lebih khusus, yang menjadi perhatian kita saat ini adalah bagaimana keuangan syariah menanggapi perubahan zaman yang ada. Di satu sisi, kita memiliki kesempatan hebat untuk meningkatkan inklusi dan efisiensi di sisi lain, ada tantangan yang sama seriusnya mulai dari kerentanan regulasi, keamanan data, hingga keutuhan prinsip syariah itu sendiri.
Ketika membahas keuangan syariah, kita membahas suatu sistem yang didasarkan pada prinsip-prinsip nilai Islam yaitu keadilan, integritas, dan keseimbangan. Dalam era digital, pertanyaannya tidak hanya tentang penerapan teknologi dalam sistem ini, tetapi juga bagaimana teknologi itu dapat dimanfaatkan tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi. Inilah tantangan utama sekaligus dilema dari digitalisasi keuangan syariah.
Kesempatan digitalisasi di sektor keuangan syariah sangat signifikan. Di negara seperti Indonesia, yang memiliki jumlah populasi Muslim terbesar di dunia, digitalisasi berfungsi sebagai penghubung antara cita-cita dan kenyataan. Fintech syariah dapat menjangkau daerah-daerah terpencil yang selama ini belum terlayani oleh layanan keuangan tradisional. Melalui platform digital yang berbasis mobile, komunitas di pedesaan dapat mengakses pembiayaan mikro, menabung dengan prinsip syariah, serta berpartisipasi dalam wakaf produktif.
Digitalisasi juga menciptakan peluang untuk inovasi produk yang sebelumnya tidak terbayangkan. Wakaf, contohnya, yang dahulu hanya terkait dengan tanah atau gedung, sekarang dapat dilakukan menggunakan uang, bahkan aset kripto. Sistem blockchain menyediakan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana wakaf. Sumbangan yang diberikan melalui klik di perangkat sekarang bisa dilihat dampaknya secara langsung. Pikirkan mengenai efek sosial yang mungkin terjadi jika teknologi ini sepenuhnya dioptimalkan oleh komunitas Islam di seluruh dunia.
Akan tetapi, yang penting untuk dicatat adalah bahwa teknologi hanyalah sebuah sarana. Prinsip-prinsip Islam tetap harus menjadi pedoman utama. Tanpa petunjuk yang jelas dari prinsip syariah, digitalisasi dapat juga berfungsi sebagai alat yang berbahaya. Oleh karena itu, perubahan ini tidak dapat dilakukan secara terburu-buru atau hanya sekadar mengikuti trend. Kita membutuhkan rencana, kewaspadaan, dan ketahanan prinsip.
Di balik gemerlap digitalisasi, banyak risiko yang harus dihadapi. Hal yang paling mendasar adalah ketidakpastian hukum. Di Indonesia, aturan untuk fintech syariah belum seketat dan sejelas perbankan syariah konvensional. Banyak startup fintech menyematkan label “syariah” untuk meraih pasar Muslim, namun tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) atau tidak melakukan proses audit syariah yang cukup. Inilah yang saya sebut sebagai “kosmetik syariah” tampak Islami di luar, namun nihil esensi.
Ditambah lagi dengan risiko keamanan siber. Serangan dunia maya pada data pelanggan, pemalsuan algoritma investasi, hingga pengungkapan informasi pribadi menjadi risiko yang nyata. Sayangnya, tidak semua lembaga keuangan syariah telah siap untuk menghadapi ini. Keterbatasan infrastruktur teknologi, kurangnya SDM digital yang memahami prinsip syariah, serta regulasi yang terbatas menjadi alasan mengapa sistem ini rawan.
Satu hal lain yang juga sangat penting adalah tantangan dalam literasi. Banyak orang yang masih belum mengerti konsep dasar keuangan syariah, terutama ketika digabungkan dengan teknologi digital. Bagaimana cara mereka membedakan mana fintech syariah yang benar-benar resmi dan mana yang hanya tampak seperti itu? Tanpa edukasi yang luas, digitalisasi justru dapat menimbulkan kesenjangan baru antara yang memahami dan yang ketinggalan, antara yang analitis dan yang gampang terjebak.
Menurut saya, pergeseran digital dalam keuangan syariah merupakan sesuatu yang tidak mungkin dihindari. Namun pertanyaannya, akankah kita membiarkan perubahan ini berjalan tanpa kontrol, atau kita akan mengawasinya agar tetap sesuai dengan syariah? Di sinilah peranan kolaborasi sangat berarti. Regulator perlu lebih aktif dalam merancang kerangka hukum yang inovatif sambil tetap mempertahankan maqashid syariah. Pelaku industri wajib bersikap jujur dan bertanggung jawab, tidak hanya mempertimbangkan peluang pasar tetapi juga amanah spiritual. Akademisi dan ulama perlu hadir tidak sekadar sebagai pengamat, melainkan sebagai pemandu dalam arah perubahan.
Saya yakin bahwa saat ini kita berada di momen penting dalam sejarah keuangan Islam. Apabila digitalisasi ini diarahkan dengan benar, kita tidak hanya akan memiliki sistem keuangan yang efisien, transparan, dan inklusif, tetapi juga yang barakah dapat memberikan manfaat di dunia dan akhirat. Namun jika kita lalai, yang terjadi bisa sebaliknya eksploitasi berkedok syariah, digitalisasi tanpa prinsip, dan hilangnya kepercayaan masyarakat.
Kita tidak dapat menolak teknologi, tetapi kita bisa mengontrol cara penggunaannya. Kita tidak dapat menghentikan inovasi, namun kita bisa mengarahkan agar inovasi tersebut tetap berfokus pada nilai. Oleh karena itu, digitalisasi keuangan syariah tidak hanya mengenai penggabungan sistem, tetapi juga penggabungan nilai. Dan yang paling penting, bukan hanya untuk menjawab kebutuhan sekarang, tapi untuk membentuk masa depan yang lebih adil dan Islami.
Menciptakan sistem keuangan syariah digital yang sempurna tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat. Ini merupakan proses yang memerlukan kolaborasi antar sektor pemerintah, industri, akademisi, serta masyarakat. Yang dibutuhkan bukan hanya inovasi, tetapi juga pandangan. Tidak hanya teknologi, melainkan juga integritas.
Saya yakin bahwa Indonesia memiliki semua potensi tersebut. Dengan jumlah populasi Muslim yang signifikan, semangat berwirausaha yang kuat, dan trend digitalisasi yang terus berkembang, kita memiliki kesempatan luar biasa untuk menjadi pionir dalam keuangan syariah digital secara global. Namun, kesempatan tersebut hanya akan terwujud jika kita dapat mengelolanya dengan cerdas, adil, dan penuh tanggung jawab.
Di zaman fintech ini, mari kita gunakan teknologi sebagai sarana untuk memperkuat nilai, bukan menggantikan nilai. Karena pada akhirnya, dalam keuangan syariah, yang terpenting bukan sekadar apa yang kita peroleh, tetapi cara kita mencapainya.