Bencana di Sumatera dan Nafsu Kapitalisme yang Tak Pernah Kenyang

Fitria Nurma Sari

Fitria Nurma Sari

0 Comment

Link

Yogyakarta, ekispedia.id – Kejadian demi kejadian bagaimana alam mengembalikan keseimbangan melalui banjir, longsor dan fenomena lainnya semakin intens dan masif. Saudara kita kembali harus merasakan getah “pembangunan” yang menyebabkan kerusakan ekologis di pulau Suwarnadwipa (Sumatera). Setiap tragedi selalu menyebabkan pedih akibat rumah hanyut, lahan penghidupan rusak, dan nyawa orang tersayang yang hilang tak pernah kembali. Ironisnya kita seperti membiarkan akar masalahnya terus tumbuh tanpa ada yang bertanggung jawab.

Pulau Sumatera selama ini ibarat laboratorium raksasa bagi para pada pemeluk kiblat ekonomi kapitalistik dengan mantra utama “pertumbuhan” sebagai mantra sakral. Hutan dibabat, tambang digali sedalam mungkin, sungai dijadikan pembuangan, dan gunung dikepras demi investasi. Angka-angka cantik PDB dikejar-kejar hingga norma-norma ekologis tidak masuk ke dalam akal sehat. Yang penting ekonomi tumbuh, persetan dengan kelestarian, berangus setiap yang menghambat pembangunan.

Sumatera yang dahulu dikenal sebagai paru-paru barat Indonesia kini ibarat tubuh penuh luka menganga. Di balik jargon hilirisasi dan pertumbuhan ekonomi 8 persen, negara dikuasai rezim ekstraksi yang menganggap alam sebagai objek eksploitasi. bebas tanpa Batas.

Saat banjir datang menghantam Sumatera, hujan dianggap sebagai penyebabnya. Padahal alam bekerja dengan presisi, dengan keseimbangan yang ajaib namun ulah manusia menjadikan mekanisme itu berubah. Alam dengan segala cara secara otomatis mengembalikan keseimbangannya melalui caranya sendiri. Alam tidak pernah marah, alam selalu memberikan keramahan namun inilah cara Allah memerintahkan alam untuk mereset ulang untuk kembali mencapai keseimbangan.

Setiap dari kita ikut memikul dosa baik secara aktif merusak alam, membeli produk dari perusahaan yang merusak alam, ataupun diam melihat alam dirusak keseimbangannya. Padahal Indonesia dianggap sebagai negara islam terbesar di dunia. Kita taat dalam beragama namun ternyata itu hanya berhenti pada ritual semata. Aqidah islam hanya dibatasi pada ruang ibadah, tidak merasuk kedalam kehidupan.

Di mimbar kajian dan keilmuan kita selalu bicara amanah yang diberikan kita sebagai khalifah fil ardhi. Namun nyatanya kita juga yang paling cepat menebang hutan. Tahun 2022 kita juara 4 soal kehilangan hutan. Tidak kurang dari 230.000 hektar lahan digunduli hanya untuk mengisi pundi-pundi kekayaan. Hutan seluas setengah DKI Jakarta musnah meninggalkan masalah yang sewaktu-waktu bisa menimpa masyarakat yang tidak menikmati uangnya.

Islam adalah Din, tuntunan hidup dengan sistem nilai untuk memberikan keadilan bagi manusia dan alam. Namun islam kini dikecilkan dengan simbol-simbol. Islam hanya ada di pakaian, jargon, atau label “halal”. Substansi islam sebagai penyelamat hilang dan etika publiknya luruh di tengah hingar bingar kapitalisme yang memuja harta.

Islam memerintahkan kita untuk memelihara bumi, bukan sekedar tugas sampingan disaat sempat. Namun realitanya perintah itu kalah dengan logika “yang penting untung”

Secara substansial islam secara syariah menuntut pada tiga hal. Yang pertama adalah keadilan kepada manusia. Pembangunan tidak boleh merugikan masyarakat terutama kaum lemah tak berdaya. Kedua adalah keadilan pada alam. Eksploitasi memang diperbolehkan seperti tercantum pada QS. An-Nahl: 14 tetapi bukan dengan semena-mena. Harus disesuaikan dengan kemampuan bumi untuk memulihkan diri. Ketiga adalah keadilan kepada generasi selanjutnya. Alam ini bukan warisan namun titipan yang harus kita berikan kepada generasi selanjutnya. Kita tidak boleh merampas hak mereka yang akan hidup setelah kita.

Ketika alam sudah dikeruk habis, sungai dirusak, dan tanah kehilangan daya dukungnya, yang kita langgar bukan hanya hukum ekologis, namun juga keimanan. Karena keserakahan bukanlah sifat islam, itu adalah sifat syaitan dengan segala ketamakannya.

Dalam struktur ekonomi modern Indonesia, ketamakan dihadirkan tanpa malu-malu. Hingga meresap dan mempengaruhi orientasi pembangunan. Daerah yang kaya sumber daya alam nyatanya menjadi yang paling miskin dan paling sering dapat bencana. Itu bukan hanya kebetulan, itu adalah pola. Sebut saja Sumatera dan juga bumi Papua.

Serangkaian bencana di Sumatera adalah hasil dari ekonomi Indonesia yang sudah kehilangan ruh, kehilangan fungsi utamanya di sistem sosial. Ekonomi dipaksa bekerja tanpa etika, tanpa nilai spiritual, apalagi kompas moral.

Kita harus melihat bagaimana negara tergila-gila pada industri ekstraktif, tidak heran kebijakan yang dilahirkan terus menerus membuat kerusakan. Izin tambang diobral, pengawasan dilemahkan hingga kewajiban untuk pemulihan dikesampingkan.

Sudah saatnya ekonomi kita berbenah. Bukan lagi berkiblat pada angka-angka PDB. Islam tidak anti kemajuan, tetapi tegas menolak kemajuan semu namun nyata menghancurkan kehidupan masyarakat.

Nilai Aqidah secara substantif harus hadir dalam kebijakan publik, bukan hanya slogan moral tetapi juga sebagai dasar etika pembangunan. Satu nilai yaitu keadilan. Adil dalam memperlakukan manusia, adil dalam memanfaatkan alam, dan adil dalam menegakkan hukum bagi mereka yang merusak alam. Tidak kalah penting adalah adil dalam memberikan kebermanfaatan pada masyarakat lokal sebagai pemilik lahan, mereka bukan hanya sekedar angka-angka di BPS, mereka adalah jiwa yang hidup dan mereka juga rahmatan lil’alamin.

Share:

Related Post

Tinggalkan komentar