Scroll untuk baca artikel
Seedbacklink affiliate
FiqihKolumnis

Akad Wakalah Bil Ujrah dalam Praktik Jasa Titip Online: Inovasi Syariah di Era Gig Economy

65
×

Akad <i>Wakalah Bil Ujrah</i> dalam Praktik Jasa Titip Online: Inovasi Syariah di Era <i>Gig Economy</i>

Sebarkan artikel ini

Yogyakarta, ekispedia.id – Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi digital yang terus berkembang pesat, keberadaan gig economy telah merevolusi struktur pasar tenaga kerja di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Menurut laporan McKinsey Global Institute (2022), sekitar 20–30% tenaga kerja di negara berkembang kini bekerja dalam skema non-tradisional atau gig economy. Di Indonesia sendiri, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa pada tahun 2023, lebih dari 33 juta pekerja terlibat dalam sektor informal dan freelance, termasuk di dalamnya layanan jasa titip (jastip).

Gig economy menciptakan peluang kerja baru bagi individu untuk bekerja secara fleksibel, tidak terikat waktu dan tempat, serta lebih menyesuaikan diri dengan minat dan kemampuan masing-masing. Salah satu bentuk praktik nyata gig economy di Indonesia adalah layanan jastip yang kini marak ditemukan di berbagai platform digital seperti Instagram, TikTok Shop, Shopee Live, hingga Facebook Marketplace.

Dalam konteks ekonomi syariah, praktik jastip sangat relevan dikaitkan dengan akad wakalah bil ujrah, yaitu pemberian kuasa dengan imbalan. Survei Jakpat (2023) menyebutkan bahwa 62% pengguna media sosial Indonesia pernah memakai layanan jastip, terutama untuk produk luar negeri atau khas daerah. Namun, tingginya minat ini disertai risiko transaksi yang belum tentu sesuai syariah, terutama dalam hal kejelasan akad, transparansi biaya, dan kepastian hukum.

Sebagai bentuk usaha freelance dalam ekosistem digital, praktik jastip sangat tepat disandingkan dengan konsep wakalah bil ujrah, yaitu akad pemberian kuasa disertai imbalan. Menurut Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, akad wakalah sah meski tanpa ijab qabul lisan, selama ada indikasi ridha dan kejelasan tugas. Dalam konteks digital, hal ini dapat diwujudkan lewat konfirmasi tertulis, klik persetujuan, atau emoji selama tidak mengandung unsur penipuan dan dimengerti kedua belah pihak. Ini membuka ruang bagi akad-akad digital dalam praktik ekonomi kontemporer.

Dari sudut pandang ulama, akad wakalah bil ujrah merupakan bagian dari akad tabarru’ yang diberi kompensasi (ujrah), dan dibolehkan selama memenuhi prinsip transparansi dan kerelaan antara pihak-pihak yang berakad. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyatakan bahwa akad wakalah sah meski tanpa ijab qabul lisan, selama ada indikasi yang menunjukkan kerelaan dan kejelasan tugas. Maka dalam konteks digital, konfirmasi melalui pesan tertulis, emoji, atau klik setuju dapat masuk dalam kategori sighat, dengan catatan tidak ada unsur penipuan dan dipahami oleh kedua pihak.

Populix (2022) menunjukkan bahwa sekitar 23% pengguna media sosial usia 20–35 tahun di Indonesia pernah menggunakan jasa titip untuk membeli barang dari luar negeri, terutama produk fashion, skincare, dan barang bermerek. Jasa titip sendiri bukanlah fenomena baru, namun transformasinya melalui teknologi digital menjadikannya berbeda dari praktik tradisional. Kini, transaksi jastip dapat berlangsung sangat cepat, bahkan hanya melalui pesan langsung atau komentar di media sosial.

Namun, kemudahan ini menimbulkan tantangan baru: apakah bentuk konfirmasi digital seperti “klik setuju” atau penggunaan emotikon dapat dianggap sah sebagai sighat akad? Dalam sidang Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (OKI) tahun 2019 menyepakati bahwa akad elektronik sah selama memenuhi unsur ridha, kejelasan, dan transparansi. Hal ini membuka jalan bagi pengembangan akad digital dalam gig economy selama pelaku memahami dan menjalankan prinsip-prinsip syariah secara benar.

Fatwa DSN-MUI No. 113/DSN-MUI/IX/2017 menegaskan bahwa akad wakalah bil ujrah dibolehkan selama dilakukan secara transparan dan memenuhi rukun dan syarat akad syariah. Rukun tersebut meliputi keberadaan muwakkil (pemberi kuasa), wakil, objek yang diwakilkan, sighat (ijab qabul), serta kejelasan upah (ujrah). Dalam konteks jastip, semua unsur ini bisa diwujudkan secara digital, asalkan ada kesepakatan jelas sebelum transaksi dilakukan.

Sayangnya, masih banyak pelaku jastip yang belum memahami struktur akad ini dengan benar. Laporan Bank Indonesia (2023) menunjukkan bahwa tingkat literasi ekonomi syariah masyarakat Indonesia baru mencapai 23,3%, jauh tertinggal dibandingkan literasi keuangan umum yang telah melampaui 50%. Ini menunjukkan pentingnya edukasi publik dan program literasi muamalah syariah yang lebih masif, terutama melalui media sosial dan komunitas wirausaha digital.

Dari sisi teknologi, pendekatan digital sangat potensial untuk mendukung praktik jastip yang lebih aman dan profesional. Saat ini, beberapa startup fintech syariah mulai mengembangkan fitur seperti escrow halal dan akad digital berbasis smart contract. Beberapa platform seperti Hijra Bank, Ammana, dan BeliHalal sudah mulai memfasilitasi transaksi berbasis syariah dan dapat diperluas untuk sektor jasa titip. Sistem escrow halal misalnya dapat menjamin bahwa uang konsumen hanya akan diteruskan kepada pelaku jastip setelah barang diterima dalam kondisi sesuai, sehingga menghindari potensi sengketa atau penipuan.

Kajian dari International Shariah Research Academy for Islamic Finance (ISRA) menekankan pentingnya maqashid syariah dalam sektor non-keuangan seperti jastip, guna menjaga keamanan transaksi, etika bisnis, dan tanggung jawab sosial terutama bagi generasi muda Muslim yang aktif dalam ekonomi digital. Hal ini tidak hanya berdampak secara individu, tetapi juga dapat mendorong munculnya ekosistem ekonomi yang lebih adil, transparan, dan inklusif.

Beberapa langkah strategis seperti pengembangan platform jastip halal, pelatihan muamalah digital, sertifikasi halal untuk jasa, dan kolaborasi antara MUI, KNEKS, serta regulator fintech dapat memperkuat posisi Indonesia. Pemerintah juga dapat merancang regulasi khusus bagi pelaku gig economy berbasis syariah demi perlindungan dan legitimasi hukum.

Kesimpulannya, penerapan akad wakalah bil ujrah dalam layanan jastip freelance merupakan bentuk inovasi fikih yang menjawab kebutuhan ekonomi digital masa kini. Akad ini tidak hanya sah secara syariat, tetapi juga relevan secara sosial, etis, dan teknologi. Dengan dukungan fatwa, penguatan literasi, insentif regulasi, dan pengembangan teknologi halal, Indonesia berpeluang besar menjadi pelopor dalam industri jasa syariah digital yang aman, profesional, dan bermartabat menjadikan praktik jastip sebagai bagian dari solusi ekonomi halal masa depan yang inklusif, adaptif, dan berdaya saing global.