Prinsip Islam, Kebijakan Menkeu dan Logika Hotman Paris

Aditya Budi Santoso

Aditya Budi Santoso

0 Comment

Link

Jakarta, ekispedia.id – Kurang lebih satu bulan yang lalu Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengeluarkan kebijakan yakni menarik uang Rp 200 triliun dari Bank Indonesia. Kemudian dana yang cukup besar tersebut dialihkan ke bank-bank plat merah. Tujuannya secara sederhana adalah untuk memicu pertumbuhan ekonomi melalui penggerakan sektor riil.

Di saat yang tidak begitu lama, tentu saja hal tersebut memunculkan beberapa kontroversi. Salah satu dampak yang mungkin menjadi perhatian adalah menurunya suku bunga. Sehingga berpotensi mengganggu investor dalam artian mereka yang menaruh banyak uang di bank dengan mengandalkan return tinggi. Salah satu yang mewakili adalah Hotman Paris, pengacara sekaligus pengusaha populer di negeri ini.

Hotman mungkin hanya salah satu yang kesal dari sekian kelompok orang kaya atau investor. Ia menyampaikan bahwa bunga tabungan maupun deposito pasti turun dan membuatnya merasa rugi (Kumparan, 22/09/2025). Konsekuensinya, para investor dengan logika yang sama tentu saja akan menarik dananya ke luar negeri dengan return yang lebih tinggi. Begitulah mekanisme ekonomi konvesional bekerja, hal itu disebut juga sebagai perilaku rasional (investor). Namun Purbaya sebagai Menteri Keuangan merespon bahwa memang itu tujuannya, agar para orang kaya membelanjakan uangnya sehingga ekonomi sektor riil berjalan dan hidup (Kompas, 23/09/2025).

Pendekatan Kebijakan Menteri Keuangan

Bagaimana kebijakan tersebut jika dipandang dalam kacamata sistem ekonomi Islam. Mengendapnya uang dalam jumlah besar di sebagian orang, tentu saja akan sangat berpengaruh pada sektor riil. Padahal Islam lebih menekankan mayoritas perputaraan uang yang sebenarnya adalah melalui sektor rill, perdagangan dan transaksi nyata bukan di instrumen perbankan ataupun market (saham). Namun saat terjadi kelesuan ekonomi atau krisis, seringkali uang tersebut tidak beredar optimal di masyarakat, dengan kata lain hanya mengendap dan berputar-putar di orang kaya. Mereka mencari keuntungan dari return berbagai macam instrumen keuangan di market dan perbankan.

Akibatnya ekonomi masyarakat tidak bergerak, transaksi jual beli sepi, tidak ada penciptaan lapangan kerja. Hal itu karena sedikitnya uang beredar dan dipegang masyarakat. Semuanya ditahan dan mengendap di tangan orang-orang kaya (Al-Hasyr : 7). Menilik pada ledakan krisis ekonomi yang cukup parah di Amerika pada tahun 1930-an membuat para ekonom dan teorinya kelimpungan. Ternyata pendekatan klasik bahwa pasar akan menuju keseimbangan penuh (full employment) secara alamiah tidak cukup manjur.

Lalu muncullah John Maynard Kaynes dengan salah satu tesisnya yakni kendali pemerintah atas permintaan agregat (agregate demand). Bahwa pemerintah harus mengintervensi dengan cara mengeluarkan uang lebih dalam proyek-proyek produktif. Dalam kondisi melambatnya gerak ekonomi, menabung secara kolektif justru akan memperburuk situasi. Jika semua orang menahan uangnya, permintaan akan turun, perusahan berpotensi bangkrut dan pengangguran meningkat.

Pendekatan yang dilakukan Menkeu Purbaya tidak bisa dilepaskan dari teori Keynesian tersebut. Teori permintaan agregat, kebijakan Menkeu Purbaya dan prinsip distribusi ekonomi dalam Islam pada aspek tertentu memiliki kesamaan. Dan tentu saja prinsip demikian melawan logika Hotman Paris dan kawan-kawannya. Yang perlu digaris bawahi adalah jauh sebelum teori Keynesian mendapat tempat di teks buku ekonomi Barat, konsep Islam tentang distribusi ekonomi sudah ada jauh sebelumnya.

Kelesuan Ekonomi dan Sistem Keuangan Islam

Akan timbul pertanyaan mengapa sistem ekonomi – yang di dalamnya juga termasuk kebijakan moneter – malah dihubungkan dengan agama. Sedikit menilik Max Weber dalam salah satu magnum opusnya “The Protestant Ethic and the Spirit Capitalism”. Dalam karya tersebut Weber mengungkap bahwa agama membelenggu pikiran manusia selama berabad-abad. Namun pada saat yang sama, datangnya Kristen Protestan menyelamatkan dan menguatkan kapitalisme (butuh tulisan panjang tersendiri menjelaskan ini). Bahkan Weber berkata tanpa etika kerja protestan kapitalisme tidak akan sehebat sekarang. Artinya bahwa prinsip agama dalam rentang sejarah secara tidak langsung hadir dan mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat maupun negara.

Ketimpangan distribusi ekonomi sangat ditentang dalam Islam. Oleh karenanya secara profetik, instrumen pemerataan distribusi ekonomi sudah inheren dalam ajaran Islam salah satunya melalui perintah zakat, infak dan wakaf. Perilaku menahan dan menimbun harta tanpa haq, terlebih dalam jumlah besar sangat bertentangan dari prinsip Islam. Rasulullah Saw dalam sebuah hadis menganjurkan untuk memperdagangkan harta yatim (memutarkan dalam bentuk bisnis) agar tidak habis dimakan zakat. Pesan itu bisa dimaknai bahwa nabi menyeru untuk menghidupkan sektor riil, membelanjakan harta untuk proses jual beli/produksi, bukan ditahan mengendap tanpa alasan syar’i. Dalam istilah Keynesian kalau semua orang memilih menabung, maka ekonomi akan mati.

Lantas bagaimana spirit Islam dalam memberikan keuntungan bagi kalangan mereka yang berharta. Nilai Islam hadir tidak selalu menawarkan keuntungan dalam bentuk materi dunia. Dalam bahasa ekonom Islam Umar Chapra bahwa Islam memberikan misi moral kepada manusia sehingga kesejahteraan material bukanlah satu-satunya tujuan. Ekonomi Islam tidak bisa dilepaskan dari prinsip moral – maka tak salah jika sebagian sarjana barat menyebut ekonomi Islam adalah ekonomi moral. Artinya meletakan moral di atas keuntungan materi.

Hanya sekedar menahan harta saja Islam melarang, apalagi menahan dengan niatan mendapat return sebagaimana sistem riba, jelas sangat dilarang. Prinsip ekonomi Islam memberikan penekanan pada mekanisme pembagian risiko dan melarang perilaku keuangan eksploitatif. Kerangka distribusi kekayaan dan kesejahteraan secara kolektif menjadi nilai penting dalam ekonomi Islam. Maka akumulasi harta pada elit kecil bukan hanya bertentangan dengan prinsip Islam tapi juga secara objektif mencederai nilai keadilan sosial.

Sistem keuangan Islam mempunyai semangat meminimalisir konsentrasi harta terpusat pada sebagian kelompok. Misalnya instrumen zakat secara filosofis bisa dimaknai sebagai alat pencegah penimbunan kekayaan sekaligus mendorong sirkulasi. Seorang pemilik harta yang sudah wajib zakat tahu, bahwa jika ia membiarkan hartanya mengendap maka akan habis termakan zakat. Maka bentuk sirkulasi harta, baik investasi maupun konsumsi, keduanya memiliki efek penggandaan bagi pendapatan nasional. Pendekatan ekonomi Islam dalam konteks kebijakan fiskal dan moneter lebih mengedapankan kemaslahatan (maqashid al-syari’ah). Pada akhirnya aktivitas ekonomi dalam Islam tidak terlepas dari prinsip apa yang disebut para ulama sebagai “Falah”, yakni kebahagian, kemenangan, dan kesejahteraan dunia-akhirat.

Share:

Related Post

Tinggalkan komentar