Scroll untuk baca artikel
Seedbacklink affiliate
Kolumnis

Ar-Rahn dan Kebangkitan UMKM: Jalan Tengah Pembiayaan Syariah

Kharisma Yogi Noviana
153
×

Ar-Rahn dan Kebangkitan UMKM: Jalan Tengah Pembiayaan Syariah

Sebarkan artikel ini

Yogyakarta, ekispedia.id – UMKM di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini telah menjamur dengan pesat. UMKM dianggap sebagai salah satu sektor ekonomi yang mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia mencatat UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional, menyumbang lebih dari 60% Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja.

Ironisnya, meskipun jumlah UMKM terus menjamur di berbagai daerah sebagai penopang ekonomi rakyat, kelompok ini justru masih menghadapi tantangan besar dalam hal akses pembiayaan.

Menurut Bank Indonesia, permasalahan utama yang paling sering dihadapi UMKM adalah permasalahan permodalan.  Meski lembaga formal seperti perbankan dan keuangan syariah terus bertumbuh, namun aliran modal yang mereka salurkan belum menyentuh akar rumput pelaku UMKM.

Fenomena ini bisa terjadi karena rendahnya literasi keuangan, keterbatasan agunan yang tidak sesuai, hingga birokrasi yang berbelit. Dalam konteks ini, Ar-rahn tampil sebagai alternatif pembiayaan yang cepat, fleksibel, dan sesuai prinsip syariah.

Jika dikaji lebih jauh, salah satu hambatan yang terus menghantui pertumbuhan UMKM di Indonesia adalah minimnya akses terhadap pembiayaan formal layak. OJK mencatat, hanya sekitar 17,7% dari total pembiayaan syariah yang dialokasikan ke sektor UMKM. Padahal, kebutuhan modal kerja menjadi faktor vital dalam keberlangsungan usaha mereka.

Disisi lain, indeks literasi keuangan syariah di Indonesia masih tergolong rendah, hal ini menunjukkan masih rendahnya pula pemahaman Masyarakat terhadap keuangan syariah. Banyak pelaku UMKM juga belum memiliki legalitas usaha atau jaminan yang memadai, sehingga sulit memenuhi syarat pembiayaan formal. Akibatnya, tidak sedikit yang terpaksa beralih ke sumber pembiayaan informal yang justru menjerat mereka dengan bunga yang tinggi dan risiko hukum. Masalah ini menjadi penghambat serius bagi kemajuan sektor UMKM sebagai penopang ekonomi nasional.

Di tengah terbatasnya akses UMKM ke pembiayaan formal, Ar-rahn hadir membawa angin segar. Sebagai instrumen keuangan syariah berbasis gadai, Ar-Rahn menawarkan kemudahan akses modal tanpa membebani dengan bunga yang mencekik. Mekanismenya sederhana: pelaku usaha cukup menyerahkan aset berharga seperti emas atau barang bernilai lain sebagai pinjaman, lalu memperoleh dana tunai dengan cepat dan aman.

Keunggulan utama Ar-Rahn terletak pada fleksibilitasnya, tetap memegang prinsip keadilan serta kepastian syariah melalui ujrah (biaya penitipan). Hubungan antara pemberi dana dan nasabah terbangun atas dasar saling percaya, karena transaksi dilandasi barang jaminan yang nyata. Dengan begitu, Ar-Rahn menjadi solusi riil dan relevan bagi UMKM yang ingin bertumbuh tanpa terjebak dalam jeratan pembiayaan konvensional.

Data penelitian memperkuat peran Ar-rahn dalam menopang permodalan UMKM. Studi terhadap 500 pelaku usaha mikro menunjukkan bahwa akses terhadap pembiayaan syariah termasuk produk Ar-rahn berkontribusi langsung terhadap peningkatan omzet, laba usaha, dan penyerapan tenaga kerja.

Hal ini membuktikan, bahwa pembiayaan yang adil dan cepat dapat mendorong produktivitas dan keberlanjutan UMKM. Lebih jauh, laporan OJK mencatat bahwa fintech syariah hingga awal 2023 telah menyalurkan pembiayaan lebih dari 9 triliun, meskipun porsinya terhadap UMKM masih tergolong kecil. Namun tren ini menunjukkan potensi besar, terutama jika Pegadaian Syariah dan institusi serupa mampu mengintegrasikan layanan Ar-rahn ke dalam layanan berbasis teknologi digital. Melalui digitalisasi, Ar-rahn tidak hanya menjangkau lebih banyak pelaku usaha, tetapi juga menghadirkan efisiensi dan transparansi yang dibutuhkan oleh pelaku UMKM di era teknologi.

Untuk menjadikan Ar-Rahn sebagai kekuatan utama dalam mendukung kebangkitan UMKM, dibutuhkan strategi yang progresif dan menyeluruh. Pertama, peningkatan literasi ekonomi syariah melalui kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan lembaga keuangan. Kedua, penyederhanaan regulasi dan pemberian insentif untuk produk ar-rahn, misalnya melalui pengurangan pajak atau subsidi biaya simpan. Ketiga, inovasi layanan seperti digitalisasi proses gadai dan pengembangan model Ar-rahn untuk asset non-emas yang bernilai ekonomi. Terakhir, penguatan kemitraan antara Pegadaian Syariah, BPRS, BMT, dan fintech syariah guna menciptakan ekosistem pembiayaan yang inklusif.

Namun, potensi besar Ar-Rahn tidak akan berkembang optimal tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, terutama para pelaku UMKM itu sendiri. Kesadaran untuk menjadikan pembiayaan syariah sebagai pilihan utama harus dibarengi dengan edukasi yang intensif dan berkelanjutan. Kampanye literasi keuangan syariah tidak cukup hanya menyentuh permukaan, melainkan harus menjangkau pasar-pasar tradisional, komunitas pedesaan, dan pusat-pusat ekonomi mikro lainnya. Dalam konteks ini, peran akademisi dan praktisi keuangan syariah menjadi krusial untuk menjembatani pengetahuan teoritis dengan praktik nyata di lapangan.

Selain itu, pengembangan model Ar-Rahn juga perlu disesuaikan dengan karakteristik lokal masing-masing daerah. Di beberapa wilayah, pelaku usaha tidak memiliki emas sebagai agunan, namun memiliki hasil bumi, peralatan usaha, atau aset produktif lain yang dapat dijadikan objek rahn. Di sinilah diperlukan keberanian lembaga keuangan syariah untuk melakukan inovasi produk, misalnya dengan menghadirkan skema rahn berbasis komoditas atau rahn sosial berbasis gotong royong komunitas. Pendekatan ini tidak hanya memperluas inklusi keuangan, tetapi juga membumikan nilai-nilai keadilan sosial dalam praktik ekonomi syariah.

Tak kalah penting, keberhasilan Ar-Rahn juga akan sangat dipengaruhi oleh kemudahan akses dan pengalaman layanan yang ditawarkan. Dalam era digital, pelaku UMKM menuntut layanan yang cepat, transparan, dan dapat diakses kapan saja. Oleh karena itu, digitalisasi proses Ar-Rahn bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Lembaga keuangan syariah harus berani membangun platform digital yang ramah pengguna, integratif dengan ekosistem UMKM, dan terhubung dengan sistem pelaporan yang efisien. Jika digitalisasi Ar-Rahn mampu diwujudkan secara inklusif, maka akan tercipta ekosistem keuangan syariah yang mampu menjawab tantangan zaman sekaligus mengangkat kesejahteraan umat.

Lebih dari sekadar instrumen keuangan, Ar-Rahn sesungguhnya merepresentasikan semangat kemandirian dan keberdayaan ekonomi umat. Dalam sistem ini, pelaku UMKM tidak diberi uang cuma-cuma, tetapi didorong untuk mengoptimalkan aset yang dimiliki, betapapun kecil nilainya. Nilai edukatif inilah yang membuat Ar-Rahn istimewa: ia menumbuhkan etos kerja, tanggung jawab, dan keberanian untuk berkembang secara mandiri tanpa ketergantungan pada pinjaman berbunga tinggi. Dengan prinsip syariah sebagai pijakan, Ar-Rahn tidak hanya menyelesaikan masalah akses pembiayaan, tetapi juga membentuk mental wirausaha yang tangguh dan berintegritas, sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam membangun fondasi ekonomi bangsa yang kokoh.

Ar-Rahn bukan sekedar instrumen keuangan alternatif, ia menjadi jembatan nyata yang menghubungkan pelaku UMKM dengan harapan akan pembiayaan yang adil, cepat, dan sesuai nilai-nilai syariah. Di Tengah krisis kepercayaan terhadap sistem pembiayaan konvensional, ar-Rahn menjelma menjadi simbol bangkitnya ekonomi masyarakat kecil yang butuh akses modal terjangkau dan aman.

Untuk itu, sinergi lintas sektor sangat dibutuhkan: dari regulator yang membuka ruang regulasi inklusif, akademisi yang menyumbang riset dan literasi, hingga Lembaga keuangan syariah yang memperkuat inovasi layanan. Jika upaya kolektif ini dikonsolidasikan, target peningkatan kontribusi pembiayaan UMKM pada 2025 bukanlah mimpi, melainkan capaian yang sepenuhnya masuk akal dan layak diperjuangkan.