Jakarta, ekispedia.id — Judi online (judol) telah menjadi ancaman serius bagi perekonomian nasional. Namun, di tengah kekhawatiran yang terus meningkat, ekonomi dan keuangan syariah disebut memiliki peran strategis sebagai solusi dan benteng nilai untuk menghadang bahaya laten tersebut.
Kepala Center for Sharia Economic and Finance Development (CSEFD) INDEF, Nur Hidayah, menegaskan bahwa ekonomi syariah bukan sekadar menolak praktik judi secara normatif, tetapi juga hadir dengan tawaran solusi konkret dan berkeadilan.
“Bukan sekadar mengharamkan jalan haram, tapi membukakan pintu jalan halal,” ujar Nur seperti dikutip dari laman Republika, Jumat (11/7).
Menurutnya, praktik judol tidak hanya berdampak pada aspek moral dan hukum, tetapi juga merusak struktur ekonomi dari dalam. Ia menyebut, efek domino dari judol meliputi utang ilegal, kekerasan rumah tangga, peningkatan kriminalitas, hingga kasus bunuh diri. Bahkan, aktivitas ini juga mengganggu sirkulasi uang dalam sistem ekonomi nasional.
“Transaksi judi biasanya lintas negara, anonim, dan tidak tercatat dalam sistem keuangan formal,” jelasnya.
Kerugian Setara 10 Persen APBN
Data gabungan dari BNN, Kominfo, dan Bank Indonesia menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat judol selama dua tahun terakhir telah mencapai angka fantastis: Rp 327 triliun—setara hampir 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam pandangan Nur, ekonomi dan keuangan syariah dapat menjadi antitesis dari judol, yang sarat unsur maisir (spekulatif), gharar (ketidakjelasan), dan talaqqi rukban (eksploitasi terhadap ekonomi lemah).
“Pendidikan ekonomi syariah di madrasah, kampus, dan komunitas dapat membentuk kesadaran bahwa kekayaan tidak datang secara instan, tetapi melalui produktivitas, keadilan, dan keberkahan,” katanya.
Alternatif Halal bagi Generasi Muda
Nur juga menyoroti minimnya akses masyarakat terhadap instrumen keuangan produktif yang membuat sebagian orang tergoda pada jalur spekulatif seperti judi. Menurutnya, keuangan syariah dapat menawarkan berbagai alternatif seperti saham syariah, sukuk ritel, wakaf produktif, hingga teknologi finansial (tekfin) ramah anak muda.
Bahkan, dana masyarakat yang selama ini “dibakar” di platform judol dapat dialihkan untuk pembiayaan mikro syariah, zakat dan infak (ZISWAF), hingga crowdfunding halal berbasis bagi hasil.
“ZIS bisa menjadi instrumen penyelamat ekonomi bagi korban judol, khususnya ibu rumah tangga dan anak-anak, serta mendukung pemulihan psikososial keluarga terdampak,” tambahnya.
Dorongan untuk Kebijakan Sistemik
Nur menekankan perlunya lembaga zakat seperti BAZNAS, LAZ, dan LKS (Lembaga Keuangan Syariah) untuk mengklasifikasikan korban judol sebagai asnaf gharimin (mereka yang terlilit utang), agar bantuan bisa diberikan secara sistemik dan terstruktur.
Tak hanya itu, ia juga mendorong agar ekonomi syariah menjadi bagian dalam penguatan regulasi larangan judol melalui pendekatan maqashid syariah. Termasuk, revisi terhadap UU ITE, UU Perjudian, serta kebijakan OJK dan Kominfo.
“CSEFD-INDEF, KNEKS, DSN-MUI, dan komunitas akademisi Islam harus jadi motor advokasi kebijakan anti-judol berbasis nilai, bukan sekadar larangan formal,” tegas Nur.